A. Latar
Belakang
Demam keong
(schistosomiasis) walaupun tidak mewabah, tetapi keberadaannya merupakan bagian
dari kesehatan masyarakat di daerah tropis seperti Indonesia sehingga memerlukan
penanganan yang lebih serius. Penyakit ini tidak tiba-tiba muncul dan tidak
menyebapkan banyak korban, tetapi secara perlahan-lahan menggerogoti kesehatan
manusia, menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia pada anak dan
akhirnya berujung pada kematian. Bebrapa data yang telah dihimpun penulis menunjukan
bahwa:
Data WHO
menyatakan Penderita schistosomiasis di dunia mencapai 200 juta orang.
Sedangkan penduduk yang terancam menderita penyakit ini mencapai 600 juta orang
(population of risk).
Data Asia Negara-negara Timur
Tengah , China ,
Jepang, Philipina , Indonesia , Kamboja, Laos , Vietnam , dan Thailand .
Umumnya terdapat didaerah populasi keong air tawar, rawa, danau dan sungai.
Sedangkan di Negara Mesir penyebaranya di sekitar Bendungan Aswan.
Data Nasional Di
Indonesia, walaupun demam keong hanya terbatas di daerah tinggi Lindu dan
Lembah Napu Sulawesi Tengah, tetapi keberadaanya harus diperhitungkan.
Transportasi yang lebih cepat, mobilita penduduk dan hewan yang semakin cepat
memungkinkan penyakit tersebut keluar dari daerah tersebut.
Hewan
yang menjadi inamg dari cacing schistosoma adalah: sapi, babi, anjing, cacing,
kerbau, domba, rusa, kuda, tikus dan celurut.
PREVALENSI PENYAKIT
SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA
Penyebab dan Prevalensi
Schistosomiasis Di Sulawesi Tengah
Daerah yang di survei
|
Penduduk yang di intervensi
|
Persentase
|
Lembah Lindu (4 desa)
|
1417
|
12-57
|
Daerah Tinggi Napu (9
desa)
|
936
|
12-67
|
Besoa (4 desa)
|
405
|
1-8
|
Sbr: Sub.Dit.
Schistosomiasis
Prevalensi Schistosomiasis
di Daratan Tinggi Napu Tahun 2001-2004
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
Jumlah
Penduduk
|
5054
|
4644
|
5464
|
6874
|
Positif
Sch. Japonicum
|
58
|
50
|
35
|
67
|
Persentase
|
1,15
|
1,08
|
0,64
|
0,97
|
Data lab, sch.
Napu subdit P2M DinKes Propinsi Sulawesi Tengah
Prevalensi Schistosomiasis
di Lembah Lindu 2001-2004
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
Jumlah
Penduduk
|
2862
|
2511
|
1964
|
2335
|
Positif
Sch. Japonicum
|
7
|
12
|
12
|
4
|
Persentase
|
1,15
|
1,08
|
0,16
|
0,17
|
Data lab, sch.
Napu subdit P2M DinKes Propinsi Sulawesi Tengah
B. Etiologi
Schistosomoasis
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi salah satu jenis spesies cacing
termatroda darah. Jenis dan penyebaran schistosomiasis di dunia. Ada empat spesies
Schistosoma yang menjadi parasit manusia yaitu: Schistosoma haematobium, S.
mansoni, S. japonicum dan S. mekongi. Berdasarkan morfologi dan anatomi, cacing
schistosoma di masukan dalam kelas termatoda
karena bentuknya yang seperti daun. Sub kelas digenea kerena berkembang
dalam tubuh tuan rumah perantara sebelum menjadi dewasa, kemudian dimasukan ke
dalam super ordo Anepitheliosystidia, dari ordo Strislatoidea, Sub Ordo
Schistosoidea, Family schistosomatidae dan genus Schistosoma.
Ukuran tubuh
cacing Schistosoma jantan lebih besar tetapi lebih pendek dari pada cacing
betina. Cacing jantan berukuran 9,5 – 19,5 mm x 0,9 mm (tergantung dari
spesiesnya) dan cacing betina 16,0 – 26,0 mm x 0,3 mm (tergantung dari
spesiesnya).
C. Masa
Inkubasi
Masa inkubasi
dari penyakit ini tidak di ketahui secara pasti. Namun, pada umumnya penderita
menunjukan gejala setelah enam bulan pasca masuknya cacing schistosoma ke dalam
kulit. Dengan alasan ini maka para penduduk yang berada di daerah endemic harus
diperiksa tinjanya setiap enam bulan, agar diketahui prevalensinya.
D. Transmisi
Siklus hidup cacing Schistosoma spp secara umum
sama untuk semua spesies. Dimulai dari masuknya cacing pradewasa stadium
infektif yang disebut serkaria (cercaria) yang menembus kulit. Di dalam tubuh
manusia serkaria akan berubah bentuk menjadi schistosomula yang akan mengikuti
system peredaran darah, masuk ke dalam jantung kanan, paru-paru, ke dalam
jantung kiri dan keluar ke sistem peredaran darah umum, dan menjadi dewasa di
dalam hati. Cacing dewasa kemudian bermigrasi ke habitatnya masing-masing
sesuai dengan spesiesnya. Cacing S. mansoni dan S. japonicum akan tinggal di
pembuluh darah vena sekitar usus dan hati, misalnya vena porta hepatica dan
vena mesenterica superior, sedangkan S. haematobium akan tinggal di pembuluh
darah vena sekitar kandung kemih. Di dalam habitat inilah cacing betina akan
bertelur mulai dari beberapa butir sampai beberapa ratus per hari. Cacing
jantan dan betina selalu berpasangan. Telur cacing dikeluarkan bersama dengan
tinja atau urin. Di dalam air, telur akan menetas dan keluar larva yang disebut
mirasidia.
Mirasidia yang
keluar dari telur akan mencari siput yang sesuai untuk perkembang biakan lebih
lanjut. Mirasidia menembus bagian siput yang lunak. Di dalam tubuh siput
mirasidia akan berubah bentuk menjadi sporokista induk, kemudian menjadi
sporokista anak dan berubah menjadi serkaria.
Dari satu
mirasidium dapat membentuk kurang lebih 100.000 serkaria. Serkaria akan keluar
dari tubuh siput secara periodic dan berenang dalam air menunggu hospes
definitive untuk diinfeksi. Manusia yang melewati perairan yang mengandung
serkaria akan tertular apabila tidak memakai pelindung (sepatu boot).
Schistosoma
japonicum dapat menginfeksi manusia dan semua jenis hewan mamalia dan
menyebabkan sakit (zoonosis) sedangkan S. haematobium bukan zoonosis.
E. Dampak
Sosial Ekonomi
Schistosomiasis
menimbulkan dampak ekonomi yang sangat besar. Di Mesir penyebaran S. masoni dan S. haematobium
betambah luas pada saat dibangun Bendungan
Aswan. Penyebaran schistosomiasis makin luas sehingga biaya yang dikeluarkan
pemerintah Mesir untuk mengobati penderita baru lebih besar dari pada keuntungan
ekonomi yang didapat dari Bendungan tersebut. Hal serupa terjadi juga di Sudan , Cameroon
dan beberapa negara di Amerika Latin. Di
Cina S. japonicum tersebar sangat luas di 10 provinsi, satu kotamadya dan satu
daerah istimewa dengan penderita 11 juta lebih, kematian yang sangat tinggi22)[3]
.
F. Gejala
Schistosomiasis
secara umum mempunyai gejala klinis awal yang sama, misalnya gatal-gatal pada saat serkaria telah masuk ke
dalam kulit, kalau serkaria yang masuk ke dalam kulit cukup banyak akan terjadi
dermatitis. Kemudian pada saat larva cacing melewati paru akan terjadi batuk
berdahak dan demam.
Pada stadium
berikutnya akan terjadi gejala disentri atau urtikaria (pada infeksi S.
haematobium). Schistosomiasis mansoni, japonikum dan mekongi dapat menyebabkan
hepatomegali (pembengkakan hati) dan splenomegali (pembengkakan limpa).
Pada penderita
schistosomiasis japonikum dan mekongi yang sudah parah akan menderita asites
yang diikuti dengan kematian.
G. Pencegahan
dan pengobatan
a. Pengobatan
Pengobatan
schistosomiasis pada dasarnya adalah : mengurangi dan mencegah kesakitan dan
mengurangi sumber penular. Sebelum ditemukan obat yang efektif, berbagai jenis
obat telah dipakai untuk mengobati penderita schistosomiasis, misalnya,
hycanthone, niridazole, antimonials, amocanate dsb. Obat-obat tersebut tidak
efektif dan beberapa sangat toksik. Pada saat ini obat yang dipakai adalah
Praziquantel. Praziquantel sangat efektif terhadap semua bentuk
schistosomiasis, baik dalam fase akut, kronik maupun yang sudah mengalami
splenomegali atau bahkan yang mengalami komplikasi lain. Obat tersebut sangat
manjur, efek samping ringan dan hanya diperlukan satu dosis yaitu 60 mg/kg BB
yang dibagi dua dan diminum dalam tenggang waktu 4-6 jam.
b. Pemberantasan
siput penular
Pemberantasan
siput penular merupakan satu kesatuan dari program pemberantasan
schistosomiasis, sebab dengan pengobatan saja tidak mungkin akan memberantas
schistosomiasis. Metoda pemberantasan siput tergantung dari spesies siput
tersebut. Siput penular (hospes perantara) Schistosoma mansoni, S. haematobium
dan S. mekongi adalah siput air tawar yang selalu berada di dalam air,
pemberantasannya dengan molluscicides, berupa bahan kimia yang disemprotkan di
permukaan air habitatnya. Sedangkan hospes perantara S. japonicum adalah siput
amfibius yang tidak selalu berada di dalam air. Pemberantasannya dapat
dilakukan dengan berbagai cara, mulai dengan menggunakan molluscicide,
penimbunan, pemarasan, pembakaran dan merubah habitat siput menjadi lahan
pertanian atau bahkan lapangan golf.
Gambar Cacing Schistosoma Japonicum
Gambar. 1
Gambar
Telur Schistosoma
Gambar. 2
Gambar
Penderita Schistosomiasis
Gambar 3
Siklus
Hidup Cacing Schistosoma
Gambar 4
No comments:
Post a Comment