1. Pengertian
DHF (Dengue
Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis
virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui
gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). (Christantie Effendy, 1995).
2.
Etiologi
Virus dengue
tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe.
Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-III,
sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953 –
1954.
Virus dengue
berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh
dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan
serotipe yang paling banyak beredar.
3.
Patofisiologi
Fenomena patologis
yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler
yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Peningkatan
permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi
hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan
(syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.
Adanya kebocoran
plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang
tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard
yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus.
Setelah pemberian
cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma
telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan
dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung,
sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami
kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami
renjatan.
Jika renjatan atau
hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis
dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada
DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan
gangguan koagulasi.
Pada otopsi penderita
DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di
kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.
4.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang
timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi anatara 13 – 15
hari, tetapi rata-rata 5 – 8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak berupa
suhu tinggi, nyeri pada otot dan tulang, mual, kadang-kadang muntah dan batuk
ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supra orbital
dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot perut
ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia,
otot-otot sekitar mata terasa pegal.
Eksantem yang klasik
ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (6 – 12 jam sebelum suhu naik
pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang berlangsung selama beberapa
jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien.
Ruam berikutnya mulai
antara hari 3 – 6, mula – mula berbentuk makula besar yang kemudian bersatu
mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia. Pada dasarnya hal
ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Gejala perdarahan
mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis,
epistaksis. Juga kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam
telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda : anak menjadi makin
lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan lembab, denyut nadi terasa
cepat, kecil dan tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau
kurang.
5.
Diagnosis
Patokan WHO (1986)
untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut :
a) Demam akut, yang
tetap tinggi selama 2 – 7 hari kemudian turun secara lisis demam disertai
gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri.
b) Manifestasi
perdarahan :
1)Uji tourniquet positif
2)Petekia, purpura, ekimosis
3)Epistaksis, perdarahan gusi
4)Hematemesis, melena.
1)Uji tourniquet positif
2)Petekia, purpura, ekimosis
3)Epistaksis, perdarahan gusi
4)Hematemesis, melena.
c)
Pembesaran
hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.
d) Dengan atau tanpa
renjatan.
Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
e) Kenaikan nilai
Hematokrit / Hemokonsentrasi
6.
Klasifikasi
DHF diklasifikasikan
berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi 4 derajat
(Menurut WHO, 1986) :
a.
Derajat
I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet , trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet , trombositopenia dan hemokonsentrasi.
b.
Derajat
II
Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
c.
Derajat
III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan daerah rendah (hipotensi), gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tanda dini renjatan).
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan daerah rendah (hipotensi), gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tanda dini renjatan).
d.
Renjatan
berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
7.
Pemeriksaan
Diagnostik
Laboratorium
Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dan meningginya nilai hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nila hematokrit pada masa konvalesen.
Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dan meningginya nilai hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nila hematokrit pada masa konvalesen.
Pada pasien dengan 2
atau 3 patokan klinis disertai adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi
tersebut sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF dengan tepat. Juga
dijumpai leukopenia yang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik
terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena
berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.
8.
Diagnosa Banding
Gambaran klinis DHF
seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti :
a.
Demam
chiku nguya.
Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di atas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan otot.
Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di atas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan otot.
b.
Demam
tyfoid
Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfositosis relatif.
Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfositosis relatif.
c.
Anemia
aplastik
Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut, demam timbul karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia.
Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut, demam timbul karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia.
d.
Purpura
trombositopenia idiopati (ITP)
Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi.
Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi.
9.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
penderita dengan DHF adalah sebagai berikut :
a.
Tirah
baring atau istirahat baring.
b.
Diet
makan lunak.
c.
Minum
banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri
penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting
bagi penderita DHF.
d.
Pemberian
cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang
paling sering digunakan.
e.
Monitor
tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi
pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
f.
Periksa
Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
g.
Pemberian
obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
h.
Monitor
tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
i.
Pemberian
antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
j.
Monitor
tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital,
hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
k.
Bila
timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB.
Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.
Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok.
Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam.
Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB.
Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.
Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok.
Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam.
Cara pemberian
sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua. Infus diberikan pada pasien
DBD tanpa renjatan apabila :
1.
Pasien
terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya
dehidrasi.
2.
Hematokrit
yang cenderung mengikat.
10.
Pencegahan
Prinsip yang tepat
dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut :
a) Memanfaatkan
perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan
vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF.
b) Memutuskan lingkaran
penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk
memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan.
c)
Mengusahakan
pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah, rumah sakit
termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
d) Mengusahakan
pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi.
Ada 2 macam
pemberantasan vektor antara lain :
Ø Menggunakan
insektisida.
Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.
Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.
Ø Tanpa insektisida
Caranya adalah :
Caranya adalah :
1. Menguras
bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 – 10 hari).
2.
Menutup
tempat penampungan air rapat-rapat.
3.
Membersihkan
halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan benda lain yang memungkinkan
nyamuk bersarang.
Silahkan simak
No comments:
Post a Comment